Jasa penerjemah Inggris Indonesia berpengalaman selama 15 tahun yang menawarkan jasa turnitin, menulis, parafrase, desain, terjemahan, dll.
Jejak Penerjemahan Alquran di Indonesia
Jejak Penerjemahan Alquran di Indonesia
antara
Alquran tertua Asia Tenggara |
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Nidia Zuraya
Penerjemahan Alquran ke dalam bahasa Melayu telah dilakukan sejak pertengahan abad ke-17 M. Adalah Abdul Ra’uf Fansuri, seorang ulama dari Singkel (sekarang masuk wilayah Aceh) yang pertama kali menerjemahkan Alquran secara lengkap di bumi Nusantara.
Meski terjemahannya boleh disebut kurang sempurna dari ditinjauan ilmu bahasa Indonesia modern, Abdul Ra’uf Fansuri bisa dikatakan sebagai tokoh perintis penerjemahan Alquran berbahasa Indonesia. Setelah munculnya terjemahan Alquran karya Abdul Ra’uf Fansuri, hampir tak ditemukan lagi terjemahan Alquran dalam bahasa Indonesia hingga abad ke-19 M.
Abdur Ra’uf menimba di Arab Saudi sejak 1640. Ia kembali ke Tanah Air pada 1661. Ulama terkemuka itu lalu menerjemahkan Alquran ke dalam bahasa Melayu dalam tafsir Tarjuman al-Mustafid. Tafsir Alquran pertama di Nusantara itu disambut umat Islam yang bersemangat mempelajari dan memahami isi ajaran Alquran.
Selain di Indonesia, tafsir tersebut juga digunakan oleh umat Islam di Singapura dan Malaysia. Tafsir itu pernah diterbitkan di Singapura, Penang, Bombay, Istanbul (Matba’ah al-usmaniah, 1302 H/ 1884 M dan 1324 H/ 1906 M), Kairo (Sulaiman al-Maragi), serta Makkah (al-Amiriah).
Sedikitnya ada dua pendapat besar mengenai tafsir yang ditulis Abdul Ra’uf itu. Pertama, orientalis asal Belanda, Snouck Hurgronje menganggap bahwa terjemah tersebut lebih mirip sebagai terjemahan tafsir al-Baidaiwi. Rinkes, murid Hurgronje, menambahkan bahwa selain sebagai terjemahan tafsir al-Baidawi, karya ulama asal Aceh itu juga mencakup terjemahan tafsir Jalalain.
Kedua, Riddel dan Harun memastikan bahwa Tarjuman Al-Mustafid adalah terjemahan tafsir Jalalain, hanya pada bagian tertentu saja tafsir tersebut memanfaatkan tafsir al-Baidaiwi dan tafsir al-Khanzin. Abdul Ra’uf, menurut kedua ahli itu, cenderung memilih tafsir Jalalain. Secara emosional, Singkel memiliki runtutan sanad itu dapat ditelusuri melalui gurunya, baik al-Qusyasyi maupun atau al-Kurani.
Menurut Azyumardi Azra, Abdul Ra’uf menulis terjemahan Alquran ke dalam bahasa Melayu dalam perlindungan dan fasilitas penguasaan Aceh, ketika itu. Ia sangat yakin, karya besar itu ditulis di Aceh. Tarjuman Mustafid karya Abdul Ra’uf merupakan salah satu petunjuk besar dalam sejarah keilmuan Islam, khususnya tafsir di tanah Melayu.
Penerjemahan generasi kedua di Indonesia muncul pada pertengahan tahun 60-an. Baru di awal abad ke-20 M, sejumlah karya-karya terjemahan Alquran lengkap dengan tafsirnya dibuat. Di antara karya-karya tersebut adalah Al-Furqan oleh A Hassan dari Bandung (1928), Tafsir Hidayatur Rahman oleh KH Munawar Chalil, Tafsir Qur’an Indonesia oleh Mahmud Yunus (1935), Tafsir Al-Qur’an oleh H Zainuddin Hamid cs (1959), Tafsir Al-Qur’anil Hakim oleh HM Kasim Bakry cs (1960).
Munculnya terjemah atau tafsir lengkap, menandai lahirnya generasi ketiga pada tahun 70-an. tafsir generasi ini biasanya memberi pengantar metodologis serta indeks yang akan lebih memperluas wacana masing-masing. tafsir An-Nur/Al-Bayan (Hasbi Ash-Shiddieqi, 1966), Tafsir Al-Azhar (Hamka, 1973), Tafsir Al-Quranul Karim (Halim Hasan cs, 1955) dianggap mewakili generasi ketiga.
Kendati karya-karya terjemahan Alquran berbahasa Indonesia masih terbilang sedikit, namun pemerintah Republik Indonesia menaruh perhatian besar terhadap terjemahan Alquran ini. Hal ini terbukti bahwa penerjemahan Alquran masuk dalam Pola I Pembangunan Semesta Berencana, sesuai dengan keputusan MPR.
Untuk melaksanakan program ini Kementerian Agama pada masa itu telah membentuk sebuah lembaga Yayasan Penyelenggara Penterjemah / Penafsir Alquran yang diketuai oleh Prof RHA Soenarjo SH, mantan Rektor IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, waktu itu. Tim ini beranggotakan para ulama dan para sarjana Islam yang mempunyai keahlian dalam bidangnya masing-masing.
Pada masa Orde Baru, dari Repelita ke Repelita, pemerintah selalu mencetak kitab suci Alquran. Pada Repelita V (1984-1989), misalnya, telah dicetak 3.729.250 buah Alquran, terdiri dari Mushaf Alquran, Juz ‘Amma, Alquran dan Terjemahannya, serta Alquran dan Tafsirnya.
Atas masukan dan saran masyarakat serta pendapat Musyawarah Kerja Ulama Alquran ke XV (23-25 Maret 1989), terjemah dan tafsir Alquran tersebut disempurnakan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Lektur Agama bersama Lajnah Pentashih Mushaf Alquran.
Sumber: