Jasa penerjemah Inggris Indonesia berpengalaman selama 15 tahun yang menawarkan jasa turnitin, menulis, parafrase, desain, terjemahan, dll.
Jambi-Bandung, 17 Tahun Merantau
Tadinya ingin menyambung tulisan sebelumnya, Jambi 17 Tahun. Kalau tulisan itu disambung akan jadi panjang. Tulisan itu memang sedikit formal. Tulisan ini tidak. Panjang, mungkin iya.
Masih teringat jelas kalau tahun 2004 bulan Agustus terbang dari Yogyakarta ke Denpasar-Bali untuk melanjutkan pendidikan strata satu, Sastra Inggris. Sulit sekali lupa, sebab saat pesawat terbang pagi hari, orang-orang lagi melaksanakan upacara bendera. Hari 17 Agustus.
Tahun 2004 adalah tahun awal merantau. Besar di kota Jambi, merantau ke beberapa kota besar. Denpasar, Bekasi-Jakarta, dan sudah tujuh tahun di Bandung. Sejak 2012.
Selama merantau, selama itu pula “pulang kampung”. Mungkin lebih tepatnya, disuruh pulang. Kalau kampung sih Bukit Tinggi, Sumatera Barat. Mandiangin dan Sungai Puar.
Ternyata, 2004 +17 =2021. Ah sudahlah, pokoknya judulnya 17 tahun merantau. Karena 2020 ini belum ada rencana balik permanen ke Jambi. Masih menikmati di Bandung.
Perbandingan Jambi Dengan Kota-Kota Besar
Ada dua kota yang belum dikenali dari tiga pulau, Sumatera, Jawa, dan Bali. Kota yang belum dikelilingi adalah Aceh dan Bengkulu. Mungkin Bengkulu pernah, waktu lewat jalur Lintas Barat. Estafet naik bus Jakarta-Jambi.
Untuk Pulau Jawa, sudah pernah semua. Kecuali Madura. Sempat tinggal di Semarang, termasuk bolak-balik Semarang Yogyakarta. Naik bus cepat terbatas (Patas) yang seru itu. Surabaya sih, favorit waktu zaman kereta api Gaya Baru Malang Selatan. Yang penumpangnya sampai tidur di toilet. Saat penuh sesak, zaman lebaran dulu.
Perbandingan Kota Jambi dan Kota Bandung
Berhubung sudah tujuh tahun di Bandung dan belum bisa bahasa Sunda, maka perbandingannya dengan kota Bandung saja.
Kuliner atau Makanan
Sama-sama didominasi dengan olahan tepung. Entah tepung terigu atau tepung beras, entahlah. Bandung ada cimol, cilok, dan cireng. Jambi ada pempek. Pempek tahu, pempek telur, pempek ikan, dll. Memang mampir sama dengan Palembang. Wajar, samo-samo wong kito.
Pempek dan Cireng
Saat tiba di Jambi, langsung pasang niat makan pempek sepuasnya sama minum cukanya sekalian. Misi selesai. Tetangga baik persis samping tembok rumah, jual pempek. Murah. Seribu. Cuka tidak terlalu pedas. Jenis pempek basah. Pempek telor.
Bandung mungkin 1.500. Sayangnya, tidak bisa dijadikan oleh-oleh. Maklum produksi sendiri/rumah tangga, beda kalau beli di pabrik pempek/restoran pempek.
Pempek di kota Jambi, cireng di kota Bandung.
Sate Madura dan Sate Padang
Sate Madura cukup terkenal di Bandung. Yang didorong pakai gerobak kecil. Sampai-sampai bisa nyempil di gang sempit sekali. Di Jambi, masih gerobak atau roda ukuran roda nasi goreng. Roda adalah sebutan gerobak di Bandung.
Harga murah. Seharga nasi goreng. 13 atau 15 ribu. Jadi teringat saat liburan ke Bukit Tinggi. Di Bukit Tinggi populasi roda sate padang sangat populer sekali. Sama halnya mudahnya menemukan penjual nasi goreng di Bandung. Di Jambi, rasionya masih 50:50.
Es Tebu
Minuman es tebu sangat mudah ditemui saat masih kecil. Sepulang sekolah, kadang beli pempek. Lalu minumnya es tebu. Batang tebu yang diperas langsung tanpa campuran. Paling ditambah es batu. Harganya, tidak tahu. Tidak sempat beli. Mungkin lima ribu.
Tujuh belas tahun meninggalkan Jambi, populasi penjual es tebu berkurang. Ada, tapi tidak banyak. Kalah dengan penjual minuman berbubuk yang diblender pakai es. Di Bandung apalagi. Penjual es tebu itu langka sekali. Kalau ada, harganya sudah sebungkus nasi campur.
Harga Kuliner
Secara umum, harga makanan di kota Jambi dibandingkan dengan Bandung, hampir sama. Malah mungkin lebih murah kota Jambi. Contoh saja gorengan. Pisang goreng, bakan, tahu goreng atau gehue. Harga sama-sama seribu, tapi ukuran gorengan di Kota Jambi lebih besar. Lalu bubur kacang ijo, di tempat tinggal saya enam ribu sepiring mangkok bakso. Penuh. Di Bandung mungkin lebih mahal.
Nasi Gemuk dan Bubur Ayam
Bandung memang juara bubur ayam. Sarapan bubur ayam. Jambi, nasi gemuk. Begitu mama saya menyebutnya. Mungkin mirip nasi uduk atau nasi kuning, tapi warnanya putih. Sama-sama ada minyaknya.
Birokrasi
Kepulangan kali ini cukup lama, 31 hari. Alasannya bikin SIM A baru dan bayar pajak tahunan motor.
Saat Bikin SIM A Halal
Sudah delapan kali atau lebih dari dua bulan gagal terus uji simulator/uji konsentrasi di Polrestabes Bandung . Yang di Jl.Merdeka No.18-20 itu. Selain liburan, pulang ke Jambi karena ingin membuat SIM A baru yang halal. Sesuai prosedur. Berhasil!
Polresta Jambi tidak mengharuskan uji simulator jika ingin membuat SIM A baru. Kalau SIM B, iya. Kalau Bandung, mau motor atau mobil, wajib simulator. Memang pelayanan di Kota Bandung sedikit lebih enak dibandingkan Jambi. Sayangnya, ujian simulator bagian uji konsentrasi, kecepatan putaran rintangan roda rasanya cepat sekali. Belum lagi setir tidak presisi.
Meski tidak ada simulator di Jambi, jika lulus ujian praktek atau lulus ujian sim, harus menunggu satu minggu untuk cetak SIM. Total habis tiga minggu untuk bikin SIM A baru. Senin pertama lulus ujian komputer dan gagal ujian praktik parkir mundur seri. Senin kedua lulus, lalu suruh tunggu minggu depan cetak sim.
Bayar Pajak
Ini lucu. Pagi hari pukul 08.15 sudah tiba di kantor Samsat Jambi, yang di Jelutung itu. Tanya-tanya dengan petugas penerima tamunya. Lalu beliau bilang, “tungg be dulu bang, lagi pado sarapan pagi” Asli mau ketawa.
Begitulah gambaran birokrasi Jambi. Belum lagi ada istilah politik dinasti.
Hiburan
Standar. Mall ada, tapi mall yang secukupnya. Saya teringat dulu ketika Jembatan Makalam yang di Pasar, dekat Abadi Suite, ketika baru dibuka. Minggu pertama, masyarakat Jambi begitu antusias nongkrong di jembatan Makalam. Padahal tidak ada yang mnarik di Jembatan itu. Panjang hanya sekitar 500 meter. Pemandangan juga tidak ada. Hanya di tengah kota.
Angkutan Kota
Begitu senja, angkutan kota di Jambi sudah mulai hilang satu persatu. Jangan harap mudah mendapatkan angkot lepas Magrib. Tujuh belas tahun meninggalkan kota Jambi, cukup sedih dengan kondisi ini. Seolah-olah, semua orang dipaksa punya kendaraan sendiri.
Bandung punya rute angkot 24 jam. Setidaknya di bawah jam sembilan malam, masih mudah cari angkutan kota.
Bus Kapsul? Serius?
Ini lagi. Pertama kali tiba di Jambi 17 Januari lalu, ada lihat bus kapsul atau capsule bus yang ukuranya agak tanggung. Sedikit lebih besar dari minibus travel Bandung-Jakarta tapi lebih pendek dari ukuran bus biasa. Terlihat bagus dan ada AC.
Awalnya senang. Begitu teman bilang kalau bayarnya pakai kartu tap, mirip bayar tol, saya ingin ketawa. Capek deh…
Kota bandung saja yang pakai uang tunai, masih berjuang mencuri hati warganya untuk naik bus. Sampai-sampai halte yang dibangun disulap jadi tempat tidur atau warung kopi. Lah ini, ide bagus tapi …. Ah entahlah …. Entah masih ada atau tidak itu bus kapsul tahun depan. Semoga masih ada. Setidaknya bayarnya bisa pakai uang receh.
Sepeda Gayung, Jalan Kaki, dan Trotoar
Jangan harap mudah menemukan komunitas sepeda gayung di Jambi. Jambi panas dan berbukit. Harga sepeda harus jutaan. Harus siap mandi keringat kalau bersepedaan di kota Jambi.
Jangan pula berharap menemukan trotoar yang bisa dipel di Jambi. Ada, tapi langka. Bagi masyarakat sini, jalan kaki adalah pilihan transportasi yang aneh. mau siang atau malam, Jambi tetap panas sampai > 31 derajat clcius.
Jambi dan Pekabnaru
Jadi teringat dengan Pekabaru. Dari segi cuaca, Jambi dan Pekanbaru hampir sama. Panas dan di bawah perut bumi ada minyak. Cari sumur bor juga tidak mudah. Angkutan kota di kota Pekanbaru juga tidak banyak. Jalan kaki adalah pilihan langka jika ingin menuju suatu tempat radius 2 KM.
Duku, Rambutan, Durian, Mangga
Jambi ada tiga buah, duku, rambutan, dan durian. Bandung, setahu saya buah mangga. Bulan Februari, Jambi sudah masuk musim hujan. Artinya, mulai banjir durian, duku, dan rambutan. Harga sekilo rambutan bisa mencapai lima atau enam ribu sekilo. Duku, bisa sampai tujuh ribu. Manis, iya manis. Dukunya maaniiss. Durian? Jangan ditanya. Dari sejak kecil, banjir durian saat musimnya, sudah biasa. Termasuk duku dan rambutan.
Saat tiba di Bandung, harga duku bisa sampai 25 ribu untuk satu kilogram.
Sebulan lebih di Jambi, puas sekali makan duku dan rambutan. Durian tidak. Khawatir ketahuan kalau umur sudah tua.
Mangga Indramayu memang manis sekali. Pemilik kos saya di Bandung kadang menerima sekarung mangga, jika musim mangga tiba. Bahkan pernah dulu satu buah mangga harganya hanya lima tau nam ribu di minimarket. Mangga memang jarang di Jambi
Arus Kuliner dari Bandung
Bandung memang rajanya kuliner. Akibatnya, apa saja yang lagi terkenal di bandung, beberapa bulan lagi Jambi juga ikutan demam. Contohnya es bubble, thai tea, atau sosis bakar.
Oleh-Oleh Jambi Apa ya?
Pempek? Tempoyak? Dodol? Yang saya tahu, tempoyak. Sayangya makanan tradisional itu sudah langka sekali. Bahan bakunya dari durian.
Kopi
Jambi punya kopi sendiri. Ada kopi Kerinci. Saat pulang ke bandung, hanya bawa dua bubuk kopi ukuran 100 gram sebagai ritual oleh-oleh.
Pempek
Jika pempek, harus diberi tepung untuk dibawa sebagai oleh. Masuk kulkas bisa tahan 3-7 hari.
Duku
Duku ini saya bawa sedikit sekali. Sebagai oleh-oleh dari Jambi.Selagi banjir duku dan rambutan.
Jambi tidak ada oleh-oleh
Pendapat saya loh ya. Selama 17 tahun merantau. Masuk Jambi, keluar Jambi. Brownies yang terkenal di Bandung sudah ada di Jambi tokonya. Pakaian? Bandung ada banyak.
Bandung vs Jambi
Jika dibandingkan dengan Cimahi yang ada di samping Bandung itu, mungkin ramainya masih ramai Cimahi. Padahal Cimahi adalah bagian kota di Kabupaten, sedangkan Kota Jambi adalah ibu kota Provinsi Jambi.
Kota Jambi memang luas. Pembangunan juga tidak “segila” kota besar. 17 tahun meninggalkan kota Jambi, Jambi masih begini-begini saja. Masih suka mati listrik, angkot susah, PDAM sulit diharapkan, tabung gas 3 Kg berebutan, dan ditambah kotanya panas. Setiap tahun selalu ekspor asap akibat kebakaran hutan dan lahan.
Jangan tanya soal internet deh. Lewat dari perbatasan kota Jambi, Kartu Tri sudah hilang sinyalnya. Cuma si Merah saja yang masih monopoli. Itu juga harga kuota internetnya seperti tidak masuk akal.
Jambi ya Jambi, Bandung ya Bandung
Memang tidak bisa dibandingkan antara kota di tengah hutan dengan kota di sebelah ibu kota negara. Jambi tetap Jambi. Yang dulunya adalah salah satu kota tujuan program transmigrasi.
Sebagai orang yang merantau, mau Jambi, mau di Bandung, mau Jakarta, mau di Bekasi, mau Denpasar, mau di Bukit Tinggi padang, atau mana saja, sama saja. Karena kita semua satu. Indonesia.
Ditulis di Jambi, dipublikasi dari Bandung.
artiketlnya cuma jelekin jambi. PANT*K